Minggu, 12 Agustus 2012

Berganti nama

Haloo kopi dan awan
Aku dulu punya ekspektasi tajam ketika menamai blogku dengan nama kopi dan awan. Konsepku ingin menjadikannya sekumpulan karya pekat yang tak umum seperti kopi dan berimajinasi seberagam gumpal-gumpal awan. Aku suka akan konsepku saat itu, tapi tidak benar-benar menyelaminya.
Pada suatu titik, aku luluh lantak. Aku tak berupa. Aku buram akan batas hitam putih. Aku terseok, tak pernah utuh seadanya.
Ego.
Aku melihat blogku, mencoba mengingat-ingat bagaimana perasaanku ketika mengetiknya, menelurkan karya-karya. Dan, aku menulis dengan ego disana. Ya, memang tidak semua terketik bersama egoku. Tapi aku tidak suka menulis berperasaan sok hebat, beregosentris yang mengkhawatirkan niatku, tidak benar-benar jujur mengolah kata -kadang aku terlalu membatasi gaya bahasaku- hingga membentuk batasan tertentu dalam menilai karya orang lain. Aku ini siapa sih?. Tulisan yang bagus tuh ya isinya, apa juga kalau tulisan bagus tapi egonya diatas batas. Itu nggak sehat. Kopi dan awan itu nama yang bagus, tapi kurang baik untukku. Nama itu pendorong seseorang untuk memacu pada artinya, bagiku itu ketinggian. Aku menyadar bahwa aku memang tidak terlalu bersahabat dengan kopi. Aku hanya pengagum yang tidak kuat bersamanya. Minum kopi instan berkafein rendah saja aku berdebar-debar tidak nyaman. Aku suka rasanya, tapi tidak kuat meminumnya. Awan pun sama ketinggian. Ternyata. Karena ia melekat bersama langit dan aku selalu menyipit tidak tahan bila menengadah melihatnya. Aku sudah berego dan akan lepas kendali jika dipacu ego-ego tinggi sekuat kopi, juga awan. Bukan suatu yang kuperlukan. Aku suka kritis, mudah serius, beremosi. Aku cuma perlu beberapa titik. Garis- garis kontemplasi.

Merah, kuning, dan sesekali titik hijau.
Hanya membaur tanpa kata, bukan berarti
Hilang makna.

Kucari, kutemukan sederhana.

Merah, kuning, dan sesekali titik hijau

Baur lampu, tidak muluk-muluk.
 Aku kagum tanpa bosan pada titik-titik warna lampu-lampu jalanan.Seperti perjalanan pulang dari Batu, Malang. Lampu kendaraan macet bertumpuk membaur-mbaur, lautan kunang-kunang. Tidak jelas, mengisyarat.
Aku kagum, dan nyaman jadi pengagum







Tidak ada komentar:

Posting Komentar