Minggu, 08 Juli 2012

Dia

Setiap pukul sembilan petang mereka memejam dalam-dalam. Mengumpul emosi napas lalu meberangusnya sampai hitam, sama warna dengan malam. Tidak ada yang kelihatan.Setiap pukul sembilan petang,mereka tidak pernah hadir dalam kuluman mulut yang menyumpalnya dengan lembar-lembar merah nominal ratusan, mereka tidak pernah hadir dalam debar para-para pelampias yang hadir tanpa merah muda, mereka menutup mata dan dirinya dibatas tidak kelihatan, dibatas kastil bertembok hitam. Was-was mereka mengaca, semoga tampak tebal dan pantas dilecehkan sekelihatannya. Tenang saja mereka berdialog sendiri, toh kini bukan dirinya yang terpantul di kaca, bedak-bedak tebal dan gincu merah yang kontras dengan pucat riasnya, toh kini bukan dia.  Diantara tiga belas wanita yang berdiri di tiap pukul sembilan keatas, cuma dia yang bergincu merah muda. Pertama bergabung ia sudah menegas bahwa tidak ada warna gincunya selain merahmuda. Merah muda menurutnya lebih tegas dari tebal merah darah, merah adalah sekelumit pasrah yang tidak sudah-sudah. Sudah, sudah cukup batas toleransinya ikut ritual menutup diri di kastil hitam seperti anggota lainnya, cukup batasnya memberangus setiap rasa hingga hitam , hingga rasa-rasanya hanya berhak jadi latar. Ia masih punya impian diantara tiap ritual , ia tidak mau tambah lenyap lewat merah darah pasrah yang seragam, ia masih ingin punya cinta, ia ingin setidaknya hidup, meski cukup lewat seulas merah muda. #prosaproject

Tidak ada komentar:

Posting Komentar